PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN NASIONAL
A. Pentingnya Peraturan Perundang-Undangan Nasional bagi Warga Negara
Menurut ahli filsafat bangsa Yunani Aristoteles, manusia itu adalah zoon politicon, artinya manusia selalu berkeinginan untuk hidup bersama sehingga dikatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia cenderung untuk hidup berkelompok atau bermasyarakat.
Dalam kehidupan bersama dengan orang lain, mungkin terjadi hubungan yang baik dan harmonis, akan tetapi mungkin juga terjadi pertentangan, perselisihan, dan benturan-benturan kepentingan di antara anggota masyarakat. Untuk mengatasi semua ini, perlu ada norma dalam masyarakat yang mengatur kehidupan masyarakat tertib, tentram dan harmonis.
Pada dasarnya, yang dimaksud dengan norma adalah pedoman, patokan, atau aturan bagi seseorang untuk bertindak dan bertingkah laku di dalam masyarakat. Ada beberapa macam norma dalam masyarakat, yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma hukum.
1. Norma Agama
Norma agama adalah norma yang bersumber pada wahyu Tuhan dan ini berisi larangan – larangan, perintah dan anjuran yang wajib ditaati oleh umat manusia. Norma agama bertujuan untuk menguasai dan mengatur kehidupan pribadi dalam mempercayai atau meyakini kekuatan Tuhan Maha Esa. Contoh norm agama antara lain sebagai berikut :
a. “Jangan berbuat riba! Barang siapa berbuat riba akan dimasukkan ke dalam neraka untuk selama – lamanya.” (QS.Albaqarah:275)
b. “Hormatilah ayah dan ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu kepadamu.”(Keluaran: 20:12).
Norma agama bersifat umum dan universal serta berlaku bagi seluruh golonagan manusia di dunia.
2. Norma Kesusilaan
Norma kesusilaan merupakan peraturan hidup yang dianggap bersumber dari hati nurani manusia (insan kamil atau menyangkut hasrat-hasrat rohaniah yang tidak dapat atau tidak perlu kelihatan). Ajaran norma ini, antara lain jangan membenci sesama manusia, tidak boleh curiga, tidak berkhianat dan sebaainya. Contoh norma kesusilaan sebagai berikut :
a. Hendaklah engkau berlaku jujur
b. Hendaklah engkau berbuat baik terhadap sesama manusia
c. Janganlah engkau membunuh sesamamu
3. Norma Kesopanan
Norma kesopanan timbul akibat pergaulan segolongan manusia. Norma kesopanan (kaidah sopan santun) lahir dari suatu kebiasaan (apa-apa yang biasa di dalam hidup antarpribadi) manusia, meskipun tetapi tidak semua kebiasaan adalah sopan santun. Contoh norma kesopanan sebagai berikut :
a. Orang muda harus menghormati orang lebih tua
b. Tidak boleh meludah di lantai atau di sembarang tempat.
c. Berilah tempat terlebih dahulu kepada wanita di dalam kereta api, bus dan lain-lain (terutama wanita yang tua,hamil, atau membawa bayi)
4. Norma Hukum
Norma hukum adalah norma yang dibuat oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang. Norma hukum sangat tegas. Bagi siapa yang melanggar hukum akan memperoleh sanski hukum. Hukuman akan dijatuhkan setelah melalui proses pengadilan. Contoh norma hukum sebagai berikut:
a. Barang siapa yang dengan sengaja mengambil jiwa orang lain, dipidana karena membunuh dengan hukuman setinggi – tingginya 15 tahun (norma hukum pidana).
b. Orang yang tidak memenuhi suatu keterikatan yang diadakan, diwajibkan mengganti kerugian, misalnya jual beli, sewa-menyewa, ( norma hukum perdata).
c. Suatu persoalan terbatas harus didirikan dengan akta notaris dan disetujui oleh Departemen Kehakiman (norma hukum dagang).
Dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen ditegaskan bahwa: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Ini berarti bahwa Indonesia segala sesuatu harus didasarkan dan tunduk pada hukum yang berlaku. Oleh karena itu, untuk menciptakan kehidupan kenegaraan yang baik dan terciptanya tertib hukum bagi lembaga negara ataupun warga negara, diperlukan suatu peraturan perundang – undangan nasional.
Penyusunan peraturan perundang – undangan harus bersumber pada sumber hukum. Sumber hukum tersebut dipergunakan sebagai bahan penyusunan peraturan perundang – undangan. Sumber hukum bias tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum nasional kita adalah Pancasila (sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945) dan Batang Tubuh UUD 1945.
Peraturan perundang – undangan Republik Indonesia setelah reformasi bergulir, diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang – undangan, yaitu sebagai berikut :
1. Undang – Undang Dasar 1945
UUD 1945 adalah peraturan negara yang tertinggi dalam negara Indonesia sebagai hukum dasar tertulis yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara sehingga Undang – Undang Dasar 1945 bersifat supel. Tujuannya adalah untuk memberikan tempat bagi pemikiran – pemikiran yang sesuai dengan dinamika revolusi.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan putusan MPR sebagai pengembangan kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang – sidang MPR. Ada dua keputusan MPR.
a. Ketetapan, yaitu keputusan MPR yang mengikat baik ke dalam ataupun keluar majelis.
b. Keputusan, yaitu keputusan MPR yang mengikat kedalam mejelis saja.
3. Undang – Undang
Udang – Undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk melaksanakan Undang – Undang Dasar 1945 serta Ketetapan MPR. Menurut sistem Undang – Undang Dasar 1945, suatu undang – undang merupakan produk bersama antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan demikian suatu peraturan dapat dinamakan undang – undang apabila dibuat oleh Presiden dan DPR.
4. Peraturan Pemerintah pengganti Undang – Undang
Peraturan pemerintah pengganti udang – undang oleh pemerintah dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peraturan Pemerintah pengganti undang – undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan berikut.
b. DPR dapat menerima atau menolak Peraturan Pemerintah pengganti Undang – Undang dengan tidak mengadakan perubahan.
c. Jika ditolak oleh DPR, Peraturan Pemerintah pengganti Undang – Undang harus dicabut.
5. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah dibuat pemerintah untuk melaksanakan udang – undang.
6. Keputusan Presiden
Keputusan Presiden bersifat mengatur dan dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsinya dan tugasnyaberupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintah.
7. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah dibuat untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.
a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh DPRD I bersama Gubernur.
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat DPRD II bersama Bupati/Walikota.
c. Peraturan Desa atau yang setingkat dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau yang setingkat. Sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
B. Alur Proses Penyusunan Perundang – Undangan Nasional serta Pihak – Pihak yang Terlibat
Alur proses penyusunan perundang – undangan nasional serta pihak – pihak yang terlibat.
1. Undang – Undang Dasar 1945
UUD 1945 merupakan peraturan negara yang tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang – undangan Republik Indonesia. Rancangan UUD ini mulai dibahas dalam sidang – sidang BPUPKI dan kemudian menjadi UUD negara Republik Indonesia setelah ditetapkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Sekarang UUD 1945 telah mengalami perubahan atau amandemen yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan. Amandemen tersebut adalah sebagai berikut:
a. Amandemen pertama disahkan pada 19 Agustus 1999.
Pasal – pasal yang diamandemen adalah pasal 5, 7, 9, 13, 14, 17, 20, 21.
b. Amandemen kedua disahkan pada 18 Agustus 2000.
Pasal – pasal yang diamandemen adalah pasal 18, 20, 22, 25, 26, 27, 28, 30 dan 36.
c. Amandemen ketiga disahkan pada 10 November 2001.
Pasal – pasal yang diamandemen adalah pasal 1, 3, 6, 7, 8, 11, 17, 22, 23 dan 24.
d. Amandemen keempat disahkan pada 10 Agustus 2002.
Pasal – pasal yang diamandemen adalah pasal 2, 6, 8, 11, 16, 23, 24, 31, 32, 33, 34, 37, Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan.
Dari uaraian di atas, sekarang kita dapat menyebutkan pihak – pihak yang terlibat dalam penyusunan dan penetapan UUD 1945, yaitu .
a. Anggota BPUPKI
b. Anggota PPKI
c. Anggota MPR
2. Ketetapan MPR
Berdasarkan Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1999 tentang peraturan tata tertib MPR RI bab XII, dijelaskan sebagai berikut.
a. Pembuatan putusan – putusan majelis dilakukan melalui empat tingkat pembicaraan, kecuali untuk laporan pertanggung jawaban presiden dan hal – hal lain yang dianggap perlu oleh Majelis (Pasal 91).
b. Keempat tingkat pembicaraan tersebut adalah sebagai berikut.
1) Tingkat I
Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap bahan – bahan yang masuk dan hasil dari pembahasan tersebut merupakan Rancangan Ketetapan/Keputusan Majelis sebagai bahan pokok pembicaraan Tingkat II.
2) Tingkat II
Pembahasan oleh Rapat Paripurna Majelis yang didahului oleh penjelasan Pimpinan dan dilanjutkan dengan pemandangan umum fraksi-fraksi.
3) Tingkat III
Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis terhadap semua hasil pembicaraan Tingkat I dan II. Hasil pembahasan pada tingkat III merupakan Rancangan Ketetapan Keputusan Mejelis.
4) Tingkat IV
Pengambilan putusan oleh rapat Paripurna Majelis setelah mendengar laporan dari pimpinan komisi/Panitia Ad Hoc Majelis dan bilamana perlu dengan kata terakhir dari fraksi-fraksi.
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pembuat Keputusan maupun Ketetapan MPR adalah para anggota MPR.
3. Undang – Undang
Pasal 20 Ayat 1 UUD 1945 hasil amandemen menegaskan bahwa kekuasaan membentuk undang – undang dipegan oleh DPR. Dalam Pasal 5 Ayat 1 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan bahwa: “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”Selanjutnya dalam Pasal 20 Ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen ditegaskan bahwa: “Setiap rencana undang – undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Dari penegasan pasal – pasal tersebut, maka diketahui sebagai berikut.
a. Undang – undang dibuat DPR bersama Presiden (Pemerintah).
b. Rancangan undang – undang dapat berasal dari DPR, dapat juga berasal dari Presiden (Pemerintah).
Proses pembentukan (pembuatan) undang – undang pada dasarnya terdiri atas tiga tahap berikut.
a. Proses penyiapan rancangan undang – undang yang merupakan proses penyusunan dan perencanaan di lingkungan Pemerintah, atau di lingkungan DPR (dalam hal rancangan undang-undang berasal dari atau usul inisiatif DPR).
b. Proses mendapatkan persetujuan yang merupakan pembahasan DPR.
c. Proses pengesahan (oleh Presiden) dan pengundangan (oleh Mentri Sekretasris Negara atas perintah Presiden).
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (PERPU)
Proses penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak serumit dan sepanjang penyusunan undang-undang. Hal ini mengingat, bahwa PERPU disusun berdasarkan keadaan darurat atau mendesak yang memerlukan pengaturan cepat, sedangkan kalau dengan undang-undang diperlukan proses yang lama.
Ada 2 kemungkinan dalam proses penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU).
a. Kemungkinan Pertama
Mentri atau kepala LPND member tahu Presiden melalui Sekretariat Negara. Kemudian Presiden akan membuat suatu rancangan PERPU. Setelah diselesaikan penyusunannya oleh Sekretariat Negara (dalam hal ini oleh Biro Hukum dan Perundang-undangan), maka Presiden kemudian menetapkan PERPU tersebut.
b. Kemungkinan Kedua
Presiden berpendapat bahwa perlu dibentuk suatu peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU). Dalam hal demikian, Presiden meminta dibuat suatu konsep rancangan PERPU yang akan diselesaikan oleh Sekretariat (Biro Hukum dan Perundang-undangan). Setelah selesai, rancangan PERPU diserahkan kembali kepada Presiden untuk ditetapkan dan ditandatangani, PERPU yang telah ditetapkan Presiden tersebut kemudian diundangkan oleh Mentri Sekretariat Negara, dan dimasukkan dalam lembaran negara. PERPU ini sudah berlaku mengikat umum.
Dari uraian di atas, kita mengetahui bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan PERPU adalah Presiden, Mentri/Kepala LPDN, dan Sekretariat Negara (Mentri dan Staf Biro Hukum dan Perundang-undang).
5. Peraturan Pemerintah
Berdasarkan Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 15 Tahun 1970, proses pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) adalah sebagai berikut.
a. Pimpinan Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) dapat mengajukan prakarsa kepada Presiden yang memuat urgensi, argumentasi, dan pokok-pokok materi suatu masalah yang akan dituangkan ke dalam rancangan Peraturan Pemerintah tersebut untuk memperoleh izin atau persetujuan dari Presiden.
b. Setelah diteliti oleh Sekretariat Negara, kemudian Presiden menentukan menyetujui atau menolak.
c. Apabila Presiden menyetujui, maka dibentuklah panitia interdepartemen atau panitia antardepartemen untuk membahas dan mempersiapkan rancangan Peraturan Pemerintah. Setelah selesai, hasilnya dilaporkan kepada pimpinan departemen atau pimpinan LPDN yang bersangkutan
d. Rancangan Peraturan Pemerintah dikonsultasikan dan dikoordinasikan dengan mentri/pimpinan lembaga pemerintah yang terkait, Mentri Kehakiman, dan Sekretariat kabinet untuk mendapatkan tanggapan dan pertimbangan una penyempurnaan rancanan Peraturan Pemerintah
e. Setelah dipandang baik, rancangan PP tersebut kemudian diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan dan ditandatangani.
f. Setelah ditetapkan rancangan PP diundangkan oleh Mentri Sekretaris Negara.
Dari uraian di atas, kita mengetahui bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan Peraturan Pemerintah yaitu Presiden, Mentri/Kepala LPDN, dan Mentri Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet.
6. Keputusan Presiden
Proses pembentuka suatu keputusan presiden, sebenarnya tidak begitu berbeda dengan proses pembentukan Peraturan Pemerintah, yaitu dimulai dari pembentukan Panitia-panitia yang bertugas untuk merumuskan, dan menuangkan semua permasalahan di dalam rancangan keputusan presiden. Apabila rancangan tersebut sudah selesai, maka presiden akan mendatangani dan menetapkan keputusan presiden tersebut. Jadi pihak – pihak yang terlibatpun hampir sama dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pembentukan PP, yaitu :
a. Presiden
b. Mentri terkait
c. Mentri Sekretaris Negara
7. Peraturan Daerah
Proses penyusunan Peraturan Daerah dimulai dengan pengajuan rancangan peraturan daerah. Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari kepala daerah dan prakarsa DPRD. Prosesnya sebagai berikut.
a. Rancangan Peraturan daerah disampaikan pimpinan DPRD kepada seluruh anggota DPRD.
b. Pembahasan dilakukan melalui 4 tahapan pembicaraan, kecuali apabila Panitia Musyawarah menentukan lain.
C. Sikap Kritis terhadap Perundang-undangan yang Tidak Mengakomodasi Aspirasi Masyarakat
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan harus diperhatikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat karena kedaulatan memang berada di tangan rakyat. Dengan demikian, maka setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku benar-benar menjadi wahana terciptanya tertib hukum guna tercapainya tujuan nasional negara kita. Tujuan negara kita adalah seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yaitu :
a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
b. Memajukan kesejahteraan umum
c. Mencerdasakan kehidupan bangsa
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Apabila suatu peraturan perundang-undangan ternyata tidak menampung atau memperhatikan aspirasi rakyat, maka masyarakat dapat secara efektif menyampaikan ataupun mendesakkan aspirasinya dengan cara yang dibenarkan undang-undang kepada badan/lembaga yang berwenang. Tujuannya, agar peraturan perundang-undangan dapat dibuat lebih baik dan aspiratif sehingga dapat berbentuk peraturan perundang-undangan yang menjamin ketertiban, ketentraman, hak kepentingan umum, dan keselamatan bangsa dan negara. Sikap kritis yang dilakukan dengan benar oleh masyarakat merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi terciptanya kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang baik dan demokratis.
D. Sikap Patuh terhadap Perundang-Undangan Nasional
Di negara hukum, semua orang harus tunduk kepada hukum yang berlaku tanpa kecuali. Demikian juga kita yang hidup di negara hukum Indonesia tercinta ini, harus patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia sebab pada dasarnya hukum di buat untuk kebaikan kita semua. Alasan lain mengapa kita harus patuh pada hukum adalah karena kepatuhan terhadap hukum menciptakan tertib hukum dan tertib hukum menjamin tercapainya tujuan negara kita.
Sebaliknya, apabila kita tidak patuh pada hukum, maka akan tercipta ketidaktertiban masyrakat bahkan kekacauan dalam masyarakat sehingga meresahkan dan menyengsarakan masyarakat itu sendiri. Oleh Karen itu, penting bagi kita untuk menyadari bahwa kita adalah makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain, dan tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
KESIMPULAN
a. Selain sebagai makhluk pribadi, manusia juga mahkluk sosial. Manusia menjadi berarti (bermakna), jika manusia berada dan bersama masyarakat, saling berhubungan dan bekerja sama.
b. Dalam berkehidupan bersama di masyarakat perlu ada norma yang mengaturnya sehingga tidak terjadi benturan kepentingan antara satu dengan lainnya. Norma – norma yang kita kenal adalah norma agama, norma kesusilaan , norma kesopanan, dan norma hukum.
c. Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, semua harus berdasar hukum dan patuh pada hukum yang berlaku. Kepatuhan terhadap hukum menjamin terciptanya tertib hukum dan tercapainya tujuan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar